Evakuasi jenazah Juliana Marins, turis asal Brasil yang jatuh di kawasan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB), memicu gelombang kritik tajam dari masyarakat Brasil. Meskipun proses evakuasi telah berhasil dilakukan oleh tim SAR Indonesia, keterlambatan dan kondisi medan yang ekstrem membuat proses itu memakan waktu empat hari, yang dinilai terlalu lama oleh publik internasional.
Juliana dilaporkan terjatuh dari tebing Pelawangan Sembalun sedalam 600 meter pada Sabtu (21/6). Jenazahnya baru berhasil dievakuasi pada Rabu (25/6) setelah upaya penyelamatan yang terkendala cuaca buruk dan medan ekstrem.
Medan Sulit, SAR Alami Hambatan Serius
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) mengungkapkan bahwa proses evakuasi terhambat oleh sejumlah faktor alam seperti kabut tebal, hujan, dan lokasi jatuhnya korban yang berada di jurang curam dengan kedalaman ratusan meter.
“Kondisi lokasi sangat sulit dijangkau, berada di kedalaman 600 meter dan tertutup kabut hampir setiap hari. Ini sangat membatasi gerak tim evakuasi,” ungkap pernyataan resmi Basarnas.
Tim SAR gabungan yang terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, relawan lokal, serta pemandu gunung telah dikerahkan sejak hari kejadian. Proses penurunan ke titik lokasi serta pengangkutan jenazah dilakukan dengan sistem tali dan peralatan khusus.
Namun, respons dari publik Brasil sangat berbeda. Mereka menganggap lambannya proses evakuasi mencerminkan kurangnya kesiapan Indonesia dalam menangani insiden darurat di kawasan wisata alam. Media sosial dan berbagai platform digital menjadi tempat pelampiasan kekecewaan, terutama di kolom ulasan Gunung Rinjani di Google Maps.
Sebelum peristiwa ini, Gunung Rinjani tercatat memiliki 2.554 ulasan dengan total rating 4,6 bintang. Namun, sejak insiden tersebut, ulasan dengan rating bintang satu membanjiri halaman review.
Salah satu komentar netizen Brasil menuliskan:
“Saya hanya datang untuk mengingatkan bahwa kalian membiarkan seorang wanita Brasil mati secara perlahan, tanpa air dan makanan.”
Komentar-komentar serupa terus bermunculan, menyuarakan rasa duka sekaligus kritik keras terhadap apa yang mereka anggap sebagai kegagalan dalam upaya penyelamatan.
Insiden ini pun menjadi sorotan internasional dan membuka diskusi tentang protokol keselamatan dan respons cepat di destinasi wisata ekstrem seperti Gunung Rinjani, yang merupakan salah satu gunung favorit bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Aktivis pariwisata dan kelompok pencinta alam meminta pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan evakuasi di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani.
“Kita butuh jalur komunikasi yang lebih kuat, pelatihan SAR lokal yang lebih intensif, dan standar keselamatan yang lebih tinggi. Kejadian ini mencoreng citra pariwisata petualangan Indonesia,” kata salah satu aktivis lingkungan di Lombok.
Sementara itu, pejabat dari Kementerian Pariwisata menyampaikan duka cita mendalam atas insiden yang menimpa Juliana. Mereka juga meminta masyarakat internasional memahami kondisi geografis Indonesia yang kerap menyulitkan upaya penyelamatan dalam situasi darurat.
“Kami berkomitmen meningkatkan sistem keselamatan wisatawan. Namun, publik juga perlu memahami bahwa medan pegunungan di Indonesia penuh risiko dan keterbatasan teknologi,” ujar seorang pejabat Kemenparekraf yang enggan disebut namanya.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa keindahan alam Indonesia, termasuk Gunung Rinjani, menyimpan tantangan besar yang perlu diantisipasi melalui sistem keselamatan yang terstandar. Kekecewaan publik global menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk memperkuat kapasitas mitigasi risiko, khususnya di destinasi yang menuntut keberanian dan fisik ekstrem. (***)