Jatim – Salah satu legenda yang masih dikenal luas oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya di wilayah Malang dan sekitarnya, adalah legenda Joko Umbaran. Sosok ini diyakini memiliki hubungan erat dengan lahir dan berkembangnya kesenian Bantengan, sebuah seni pertunjukan tradisional yang sarat akan nilai keberanian, kekuatan, dan spiritualitas.
Menurut berbagai cerita rakyat yang beredar, Joko Umbaran dikenal sebagai figur inspiratif yang menjadi simbol keberanian dan ketangguhan. Namanya terus hidup dan disebut-sebut dalam pertunjukan Bantengan, meskipun kisahnya memiliki beragam versi dan belum ditemukan bukti sejarah tertulis yang benar-benar pasti.
Seperti banyak legenda Nusantara lainnya, cerita tentang Joko Umbaran berkembang secara lisan dari generasi ke generasi. Namun justru dari situlah kekuatan cerita rakyat ini terbentuk, karena terus dipercaya dan dijaga oleh masyarakat pendukungnya.
Asal-usul Cerita Joko Umbaran
Tidak banyak catatan sejarah yang secara akademis dapat menguatkan keberadaan Joko Umbaran. Meski demikian, masyarakat Malang meyakini bahwa kisahnya berakar dari masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13.
Dalam cerita rakyat, Joko Umbaran digambarkan sebagai seorang pemuda pemberani yang membela rakyat kecil. Ia dikenal memiliki kekuatan luar biasa yang disamakan dengan kekuatan seekor banteng. Dari sinilah simbol banteng kemudian melekat erat pada sosok Joko Umbaran.
Keberanian, kegigihan, dan ketangguhan Joko Umbaran dipercaya menjadi inspirasi utama lahirnya kesenian Bantengan. Karakter tersebut tercermin dalam setiap gerakan, ekspresi, dan ritual yang dilakukan dalam pertunjukan Bantengan hingga saat ini.
Dalam konteks budaya Jawa, sosok pahlawan rakyat seperti Joko Umbaran tidak hanya dipandang sebagai figur fisik, tetapi juga sebagai simbol kekuatan batin dan spiritual yang menyatu dengan alam.
Kesenian Bantengan sebagai Warisan Budaya Lereng Gunung
Beberapa sumber menyebut bahwa kesenian Bantengan telah ada sejak era Kerajaan Singhasari di wilayah Kabupaten Malang. Pada masa awal kemunculannya, pertunjukan Bantengan masih sangat sederhana dan belum menggunakan topeng kepala banteng seperti yang dikenal saat ini.
Gerakan tari pada awalnya banyak mengadaptasi kembangan, yaitu teknik dasar pencak silat yang berfungsi sebagai pemanasan sebelum bertarung. Seiring perkembangan zaman, Bantengan mengalami transformasi menjadi seni pertunjukan yang memadukan unsur:
-
Tari tradisional
-
Bela diri pencak silat
-
Musik tradisional
-
Ritual spiritual
Perpaduan unsur tersebut menjadikan Bantengan bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari ritual budaya dan kepercayaan masyarakat setempat.
Kesenian Bantengan banyak berkembang di wilayah lereng pegunungan Jawa Timur, seperti kawasan Bromo–Tengger–Semeru, Arjuno–Welirang, Anjasmoro, Gunung Kawi, hingga Raung–Argopuro. Lingkungan alam pegunungan diyakini memiliki kedekatan spiritual yang kuat dengan tradisi Bantengan.

Struktur dan Pelaku dalam Pertunjukan Bantengan
Dalam satu pertunjukan Bantengan, biasanya terdapat dua orang pemain utama yang berada di dalam kostum banteng. Pemain bagian depan bertugas mengendalikan kepala banteng dan mengatur arah gerakan, sementara pemain bagian belakang berperan sebagai tubuh dan ekor bantengan.
Selain penari utama, pertunjukan Bantengan juga melibatkan:
-
Pawang, yang memimpin ritual dan menjaga keseimbangan spiritual
-
Pemusik tradisional, yang memainkan gamelan, kendang, gong, dan instrumen lainnya
Sebelum pertunjukan dimulai, pawang akan melakukan ritual khusus untuk memohon perlindungan kepada leluhur dan kekuatan alam. Ritual ini menjadi bagian penting agar pertunjukan berjalan lancar dan aman.
Fenomena Kesurupan dalam Kesenian Bantengan
Salah satu ciri khas pertunjukan Bantengan adalah munculnya fenomena kesurupan atau trance. Kondisi ini dipercaya terjadi akibat kuatnya unsur spiritual yang hadir dalam pertunjukan.
Fenomena tersebut sering dikaitkan dengan dua tokoh penting, yaitu:
-
Irengan, tokoh berpakaian serba hitam
-
Abangan, tokoh berpakaian merah
Kedua tokoh ini dipercaya memiliki peran penting dalam membangun suasana magis. Perpaduan antara musik yang ritmis, ritual spiritual, serta energi kolektif sering membuat pemain atau bahkan penonton mengalami trance.
Meski tampak ekstrem, kesurupan dalam Bantengan dianggap sebagai bagian dari tradisi. Oleh karena itu, pawang memiliki peran krusial untuk mengendalikan jalannya pertunjukan dan memastikan keselamatan semua pihak.
Ornamen dan Perlengkapan Kesenian Bantengan
Kesenian Bantengan memiliki berbagai ornamen dan perlengkapan khas yang memperkuat identitas visual dan makna simbolisnya. Setiap elemen dibuat dengan detail dan tidak dipilih secara sembarangan.
Beberapa perlengkapan utama dalam kesenian Bantengan antara lain:
-
Tanduk dari banteng, sapi, kerbau, atau hewan sejenis
-
Kepala banteng yang dibuat dari kayu waru, dadap, loh, miri, nangka, dan jenis kayu lainnya
-
Mahkota bantengan berbentuk sulur wayang dari kulit atau kertas
-
Kelontong dan keranjang penjalin, serta kain hitam untuk menutupi tubuh pemain
-
Gongseng kaki sebagai aksesori penari
-
Keluhan atau tali kendali untuk mengatur gerakan bantengan
Setiap ornamen tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap estetika, tetapi juga diyakini memiliki nilai simbolis terkait kekuatan, perlindungan, dan keseimbangan spiritual.
Eksistensi Bantengan di Era Modern
Hingga kini, kesenian Bantengan tetap hidup dan diminati oleh masyarakat Jawa Timur. Pertunjukan ini sering ditampilkan dalam berbagai acara, seperti:
-
Festival budaya daerah
-
Karnaval seni tradisional
-
Upacara adat
-
Perayaan hari besar
Bantengan selalu mampu menarik perhatian karena menampilkan atraksi penuh energi yang memadukan musik, tari, dan kekuatan fisik. Meski mengalami berbagai inovasi agar relevan dengan generasi muda, nilai tradisi dan filosofi Bantengan tetap dijaga agar tidak kehilangan jati dirinya.
Berbagai komunitas pelestari seni terus merawat perangkat, ritual, dan pakem pertunjukan, sekaligus melakukan penyesuaian agar Bantengan tetap eksis di tengah perkembangan zaman.
Saat ini, kesenian Bantengan sedang diupayakan untuk didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Langkah ini bertujuan untuk melindungi Bantengan sebagai identitas budaya masyarakat Jawa Timur sekaligus mencegah klaim sepihak oleh pihak lain.
Dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan, Bantengan diharapkan tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga menjadi kebanggaan lokal yang dikenal secara nasional bahkan internasional.





Leave a Reply