Polemik mengenai kewajiban pembayaran royalti lagu dalam acara pernikahan kembali mencuat, kali ini menjadi sorotan dalam sidang uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (30/6/2025).
Dalam sidang perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh musisi Ariel NOAH dan 28 pemohon lainnya, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan logika dan keadilan di balik ketentuan yang mewajibkan pembayaran royalti atas lagu yang dibawakan dalam acara bersifat privat seperti pesta pernikahan.
Hakim Arsul menyoroti bahwa saat ini banyak pesta pernikahan berskala besar yang menghadirkan ribuan tamu dan penyanyi profesional. Ia menyebut bahwa kondisi tersebut menyerupai konser, namun tetap perlu dibedakan secara hukum karena tidak bersifat komersial.
“Saya membayangkan begini Pak, misalnya dalam satu pesta perkawinan nih, yang hadir banyak juga, karena sekarang kan banyak orang kaya. Kalau menyelenggarakan perkawinan kan sampai 10 ribu (tamu) juga kan, jadi sudah seperti konser sendiri gitu kan, terus undang penyanyi,” ujarnya di ruang sidang.
Arsul lalu mempertanyakan apakah penyanyi dalam situasi semacam itu tetap harus membayar royalti, padahal mereka sekadar menghibur dan tidak mengambil keuntungan komersial dari penggunaan lagu.
“Nah, apakah yang begini ini juga kemudian terkena kewajiban untuk membayar itu tadi royalti?” tanya dia kepada kuasa hukum pemohon dan pihak pemerintah.
Menurut Hakim Arsul, ketidakjelasan dalam penerapan aturan royalti berisiko menyeret masyarakat biasa dan musisi ke dalam persoalan hukum yang tidak semestinya. Ia menekankan bahwa penerapan sanksi pidana dalam konteks ini bisa menciptakan ketidakadilan.
“Kalau semua dianggap komersial hanya karena ada keramaian dan artis tampil, maka hukum bisa salah sasaran. Ini yang harus dihindari,” tegasnya.
Pernyataan ini mempertegas pentingnya revisi atau penafsiran ulang terhadap aturan yang masih menimbulkan multitafsir, terutama terkait konteks dan ruang lingkup penggunaan karya cipta di ruang privat seperti pesta keluarga.
Permohonan uji materi yang diajukan oleh Ariel dan 28 musisi lain bukan untuk menolak kewajiban membayar royalti, melainkan untuk meminta kepastian hukum. Mereka menginginkan aturan yang adil dan proporsional agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktiknya.
“Kami tidak menolak membayar royalti, kami hanya ingin sistem yang jelas. Jangan sampai musisi disalahkan atau dituntut secara pidana hanya karena bernyanyi di tempat yang tidak jelas status hukumnya,” kata Ariel dalam keterangannya usai sidang.
Para pemohon juga mengkritisi kurangnya transparansi dalam penyaluran royalti kepada pencipta lagu, serta menyoroti peran lembaga kolektif manajemen royalti yang dinilai masih belum optimal.
Persoalan royalti lagu dalam acara pernikahan sebenarnya bukan isu baru. Sejak disahkannya UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, berbagai kalangan telah menyoroti potensi tumpang tindih aturan antara perlindungan hak cipta dan kebebasan penggunaan dalam konteks non-komersial.
Namun hingga kini, belum ada regulasi turunan yang secara tegas membedakan antara pemanfaatan komersial dan non-komersial, khususnya dalam konteks hiburan di acara pribadi seperti pernikahan, ulang tahun, atau syukuran keluarga.
Pengamat hukum hak kekayaan intelektual dari Universitas Indonesia, Dr. Fadli Arif, menilai polemik ini menjadi sinyal kuat bahwa perlu ada revisi terhadap UU Hak Cipta atau setidaknya penegasan lewat peraturan pemerintah yang menjelaskan konteks penggunaan lagu secara lebih spesifik.
“Tanpa aturan teknis yang detail, implementasi lapangan akan bias. Apakah semua penggunaan lagu di ruang publik otomatis komersial? Apakah semua penyanyi bertanggung jawab membayar royalti? Itu yang harus dijawab negara,” jelasnya.
Sidang uji materi ini membuka kembali diskusi besar tentang keadilan dalam perlindungan hak cipta di Indonesia. Di satu sisi, hak pencipta lagu perlu dihormati. Namun di sisi lain, hukum juga harus melindungi masyarakat dan pelaku seni dari kriminalisasi yang tidak proporsional.
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menghadirkan putusan yang tidak hanya menjawab ketentuan normatif, tetapi juga menyentuh aspek sosial, budaya, dan dinamika zaman dalam pemanfaatan karya seni. (***)




Leave a Reply