Pemerintah Thailand secara resmi memberlakukan larangan penjualan ganja tanpa resep dokter mulai Kamis (26/6), menandai perubahan besar dalam kebijakan negara yang sebelumnya menjadi pionir dalam legalisasi ganja di Asia.
Kebijakan ini tertuang dalam regulasi baru yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan Thailand, Somsak Thepsutin, yang mengklasifikasikan kembali bunga ganja atau cannabis buds sebagai “herbal terkendali.” Aturan ini secara efektif melarang toko-toko menjual produk ganja kepada pelanggan yang tidak memiliki resep medis sah.
Hukuman Berat Menanti Pelanggar
Pemerintah memperingatkan bahwa pelanggaran terhadap aturan baru ini akan dikenai hukuman pidana maksimal satu tahun penjara dan denda hingga 20.000 baht (sekitar Rp10 juta). Kebijakan ini diambil untuk menertibkan industri ganja yang sempat berkembang pesat namun dinilai lemah dalam pengawasan.
“Toko-toko ganja hanya boleh membeli produk dari pertanian ganja berkualitas farmasi yang telah disertifikasi oleh pemerintah,” demikian isi pernyataan dari Departemen Pengobatan Tradisional dan Alternatif Thailand yang bertanggung jawab atas regulasi ini.
Toko Tetap Boleh Operasi, Asal Patuhi Regulasi
Meski aturan ini ketat, toko-toko ganja yang telah memiliki izin resmi tetap diizinkan beroperasi, dengan syarat hanya menjual produk ganja yang berasal dari produsen bersertifikat dan digunakan untuk keperluan medis.
Pemerintah juga tengah menyusun pedoman resmi mengenai pemberian resep ganja, termasuk prosedur pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran.
Industri Ganja dalam Ketidakpastian
Sejak ganja didekriminalisasi pada 2022, ribuan toko ganja bermunculan di seluruh Thailand. Kebijakan itu sempat mendorong pertumbuhan pariwisata dan sektor pertanian secara signifikan. Namun, kebebasan yang longgar juga menimbulkan kekhawatiran publik, khususnya terkait akses ganja oleh anak-anak dan meningkatnya kasus kecanduan.
Chokwan “Kitty” Chopaka, seorang aktivis ganja dan mantan pemilik toko di Bangkok, menyebut suasana di kalangan pengusaha ganja kini penuh ketidakpastian.
“Pemilik toko panik, banyak yang takut,” ujar Chokwan. Ia menambahkan bahwa pelaku industri ganja merasa tidak mendapat kepastian hukum atas masa depan usaha mereka.
Sebelum aturan baru ini diberlakukan, banyak pihak mengkritik pemerintah Thailand karena lemahnya regulasi dan kurangnya edukasi publik mengenai penggunaan ganja yang aman. Beberapa laporan menyebut anak-anak dan remaja bisa mengakses ganja dengan mudah, sementara kasus penggunaan berlebihan dan kecanduan juga meningkat.
Situasi ini mendorong pemerintah untuk kembali mengetatkan kontrol dan memperjelas bahwa ganja seharusnya digunakan untuk keperluan medis, bukan rekreasi.
Meski Thailand menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan ganja, perkembangan terakhir ini menunjukkan adanya pergeseran kebijakan. Pemerintah ingin tetap memanfaatkan potensi ekonomi dari ganja, namun tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat dan ketertiban umum.
Langkah ini juga menjadi sinyal bagi negara-negara lain di kawasan yang tengah mempertimbangkan kebijakan serupa. (***)




Leave a Reply