Fenomena lulusan sarjana (S1) yang beralih profesi menjadi asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga petugas keamanan (security) kini semakin marak dan menjadi sorotan publik. Realitas ini menunjukkan bahwa gelar akademik tak lagi menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikan formalnya.
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, menanggapi fenomena ini sebagai sesuatu yang bukan baru terjadi. Menurutnya, ketimpangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan kesempatan kerja yang tersedia telah lama menjadi persoalan di Indonesia.
“Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Sejak saya pertama kerja tahun 1995, security saya S2. Serius, dia lulusan S2 Sastra Inggris UGM, kerja di perusahaan minyak sebagai petugas keamanan,” ujar Ivan dalam keterangan yang dikutip Kamis (26/6/2025).
Ketidakseimbangan Supply dan Demand
Ivan menjelaskan bahwa permasalahan utama bukan terletak pada “laku” atau tidaknya ijazah, melainkan pada ketimpangan antara jumlah pencari kerja (supply) dan lapangan pekerjaan yang tersedia (demand). Kondisi ini menyebabkan banyak lulusan sarjana harus menerima pekerjaan di luar bidang akademik mereka karena keterbatasan pilihan.
“Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya. Supply sama demand-nya yang nggak seimbang. Banyak supply, sedikit demand. Ijazah itu dipakai hanya sebagai alat penyaring kandidat,” katanya.
Ia menambahkan, di negara-negara dengan kebutuhan tenaga kerja yang tinggi seperti Qatar, ijazah bukan menjadi faktor utama dalam seleksi kerja. Yang lebih penting adalah kemampuan dan kesediaan untuk bekerja.
“Di negara yang demand-nya lebih tinggi daripada supply, seperti Qatar, ijazah nggak pengaruh-pengaruh amat. Yang penting ada orang yang mau dan bisa kerja,” ungkap Ivan.
Perubahan Tren Rekrutmen Perusahaan
Lebih lanjut, Ivan mengungkapkan bahwa saat ini semakin banyak perusahaan, khususnya perusahaan multinasional dan korporasi besar dunia seperti yang tergabung dalam daftar Fortune 500, mulai meninggalkan syarat ijazah sebagai kualifikasi utama.
Menurutnya, proses rekrutmen kini lebih menekankan pada kemampuan teknis, kecocokan karakter, dan kelulusan dalam proses tes, bukan sekadar gelar akademik.
“Banyak perusahaan besar sekarang hanya mensyaratkan pelamar lulus tes seleksi, tidak harus lulusan sarjana. Mereka lebih menilai apakah kandidat bisa bekerja secara nyata dan cocok dengan posisi yang dibutuhkan,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma dunia kerja, dari yang semula berbasis kualifikasi formal menjadi berbasis keterampilan praktis.
Ijazah Tetap Penting, Tapi Perlu Nilai Tambah
Kendati demikian, Ivan menegaskan bahwa ijazah tetap memiliki peran penting, terutama sebagai validasi dasar pendidikan. Namun, di tengah ketatnya persaingan dan terbatasnya lapangan kerja, para pencari kerja dituntut untuk memiliki nilai tambah.
“Saya nggak bilang ijazah akademis itu nggak penting. Tapi karena pasar kerja kita tidak seimbang, kandidat butuh nilai plus. Bisa berupa keahlian teknis, pengalaman kerja, kemampuan bahasa asing, atau keterampilan digital,” ujarnya.
Ia pun menyarankan agar para lulusan baru tidak hanya mengandalkan ijazah dalam melamar pekerjaan, tetapi juga aktif meningkatkan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.
Kondisi Lapangan Kerja yang Semakin Dinamis
Fenomena sarjana yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan lapangan yang tak sejalan dengan bidang studi mereka mencerminkan tantangan besar dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia.
Beberapa laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka dari lulusan pendidikan tinggi masih cukup tinggi, terutama di kalangan fresh graduate. Sementara itu, lapangan kerja yang tersedia banyak bergerak di sektor informal, perdagangan, dan jasa.
Dengan dinamika ini, banyak lulusan akhirnya menerima pekerjaan apapun demi bertahan hidup, terlepas dari apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan latar belakang akademik mereka atau tidak.
Fenomena ini menggarisbawahi perlunya penyesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama untuk memperbaiki sistem pemagangan, pelatihan kerja, dan penyediaan lapangan kerja baru berbasis teknologi dan industri kreatif.
Bagi para lulusan sarjana, realitas ini menuntut sikap adaptif dan kesiapan untuk terus belajar di luar ruang kuliah. Dunia kerja telah berubah, dan kompetensi menjadi kunci utama, bukan semata-mata gelar. (***)




Leave a Reply