Serangan udara Amerika Serikat ke sejumlah fasilitas nuklir Iran pada Sabtu lalu menandai eskalasi baru dalam konflik yang melibatkan Israel dan Iran. Di tengah panasnya konflik tersebut, Tiongkok tampil sebagai aktor penting yang memilih jalur diplomasi sambil tetap menjaga kepentingannya di kawasan, khususnya terkait minyak dan stabilitas kawasan Teluk.
Sebagai sekutu lama Iran, Tiongkok tetap menyatakan dukungannya terhadap Teheran, meskipun dalam batas-batas yang cermat. Sejak menandatangani kemitraan strategis selama 25 tahun pada 2021, kedua negara telah meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi, militer, dan keamanan. Iran, dengan populasi hampir 91 juta dan cadangan minyak mentah yang melimpah, menjadi mitra penting dalam inisiatif Belt and Road yang digagas Beijing.
“Kami mendukung Iran dalam menjaga kedaulatan nasionalnya,” demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Tiongkok pasca serangan Israel pada 12 Juni lalu.
Namun, setelah pernyataan keras itu, nada Beijing mulai melunak. Menteri Luar Negeri Wang Yi menyebut serangan Israel sebagai “tidak dapat diterima” namun menghindari penggunaan kata-kata yang menyiratkan kecaman langsung.
Menurut analis dari Eurasia Group, Tiongkok secara diplomatis tetap selaras dengan Iran, tetapi berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan Israel demi mencegah meluasnya konflik yang bisa mengganggu kepentingan ekonominya.
Minyak dan Selat Hormuz: Urat Nadi Ekonomi Beijing
Akses terhadap minyak Iran dan jalur perdagangan strategis Selat Hormuz menjadi kepentingan utama Tiongkok. Sekitar 20 juta barel minyak mentah melewati selat ini setiap harinya, mencakup seperlima dari konsumsi global. Separuh dari impor minyak Tiongkok juga melewati jalur ini.
Dalam situasi ini, potensi penutupan Selat Hormuz oleh Iran menjadi sorotan. Meski Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyerukan agar Beijing menekan Iran untuk tidak menutup selat tersebut, sebagian pengamat menilai Tiongkok justru dapat diuntungkan. Dengan cadangan dan alternatif sumber minyak dari Rusia, Arab Saudi, Irak, Malaysia, dan Oman, Beijing dinilai lebih siap menghadapi lonjakan harga dibanding AS dan Eropa.
“China akan senang melihat harga minyak melonjak jika itu bisa mengguncang AS dan Eropa,” ujar Robin Brooks dari Brookings Institution.
Bermain Dua Kaki: Stabilitas atau Kesempatan?
Walau Beijing menyerukan gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB dan mengkritik serangan AS, sikap tersebut tak lepas dari perhitungan strategis.
“Serangan AS ke Iran memberikan China narasi penting: bahwa AS, bukan China, yang menjadi ancaman bagi perdamaian dunia,” kata Shehzad Qazi dikutip dari China Beige Book.
Upaya Tiongkok untuk memosisikan diri sebagai penengah perdamaian juga mencuat, mengingat keberhasilan mereka memediasi rekonsiliasi antara Iran dan Arab Saudi pada 2023. Namun, skeptisisme datang dari pihak Israel yang meragukan netralitas Beijing, terutama karena hubungan dekatnya dengan Iran dan Hamas.
Tiongkok tampaknya memilih untuk tidak terlalu dalam terlibat secara langsung dalam konflik, sembari tetap mempertahankan kedekatannya dengan Iran dan memperkuat citra sebagai kekuatan diplomatik global. Dalam krisis ini, Beijing bermain cermat: tidak hanya menjaga stabilitas kawasan, tetapi juga mengamankan kepentingan ekonominya di tengah kekacauan.
Dengan situasi yang masih berkembang, dunia tengah menyaksikan bagaimana Tiongkok memosisikan dirinya dalam konflik Timur Tengah yang berisiko meluas. Di balik sikap hati-hati dan diplomatis, tersimpan kalkulasi strategis yang bisa mengubah peta kekuatan global. (***)




Leave a Reply